Mari mengenal anak kita.Ibu atau bapa yang lebih mengenali anak-anak? Sembilan bulan ibu mengandung, sekian bulan lagi merawat sambil menyusui, ditambah sekian tahun membesarkan anak. Apakah kita sudah mengenal anak kita? Mungkin sudah, mungkin juga belum, atau mungkin baru sebagian?Wallahua’lam.
Sebagai orangtua, ibu dan ayah memiliki tuntutan untuk memahami anak-anaknya. Apalagi dengan semakin kompleksnya kehidupan moden, semakin banyak variasi dan pilihan kehidupan, maka semakin besarlah tuntutan untuk hal ini. Mahu sekolah di mana?
Jika kita sebagai ibu dan bapa kurang mengenal sifat dan keadaan anak, berkecenderungan untuk salah pilih. dar hal kecil, seperti salah memilihkan baju sehinggakan mengundang pembaziran sebabb sianak tidak mahu memakai. Anak juga tidak mahu kesekolah kerana sekolah yang dipilih adalah tidak kena dengan minatnya.
kita ibu bapa asyik memberi arahan, lepas tu memberi nasihat .akhir sekali sianak buat tak tahu saja lantas mengabaikannya.masuk telinga kiri ..keluar telinga kanan.
Ada 2 bahagian mengenal anak.
1. Pertama, mengenal anak sesuai konsep yang ada, iaitu menurut agama, dan menurut ilmu tentang anak. Dengan catatan, sebagai muslim, jika konsepsi ilmu tentang anak bertentangan dengan konsepsi yang ada dalam Islam, maka kita perlu mendahulukan konsepsi agama.
2. Bahasan kedua adalah mengenal anak sesuai keunikan diri masing-masing, dengan dasar pemahaman bahwa ”tidak ada dua manusia yang sama persis serupa” (individual difference/ unique being). Dalam bahasan ini lebih kepada bagaimana kita sebagai orangtua mengenal anak melalui pengamatan.
Bahasan Pertama, mengenal anak menurut Islam dan ilmu tentang anak.
Islam mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan fitrah, suci, bersih, tanpa dosa. Orangtunya-lah yang telah menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Artinya anak tak mungkin divonis bersalah sejak lahir. Bahkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary tersebut, telah menyebutkan pihak mana yang telah mengambil berat merubah anak yang fitrah, iaitu ibu dan bapa.
Dari konsep ini, kita perlu membezakan antara bakat bawaan dan penyimpangan. Bakat bawaan tak mungkin buruk. Buruk di sini maksudnya, bakat bawaan tak mungkin langsung menentukan anak masuk neraka. Allah SWT Maha Adil tak mungkin memberikan seseorang bakat yang langsung menuju neraka.
Tak ada bakat mencuri, berzina atau bakat musyrik. Mencuri terjadi karena contoh atau karena kekurangan, karena iri atau karena ketidak tahuan dan lain sebagainya. Lain halnya dengan bakat "keras". Maksudnya sifat bawaan yang cenderung pantang menyerah, teguh pendirian, yang secara bakat ini bakat yang baik namun boleh jadi akan muncul dalam perilaku ngotot, mau menang sendiri dan susah dinasehati atau diyakinkan orang. Bakat bawaan ini perlu diasah dan diarahkan sehingga tidak berkembang menjadi negatif misalnya menjadi pemarah dan sombong.
Di sinilah peranan ilmu tentang anak, baik itu Psikologi Anak, maupun Pendidikan Anak. Dalam ilmu-ilmu tersebut dibahas tentang berbagai sifat dan karakter yang bahkan dapat diukur dengan berbagai ujian. Juga tentang nilai kecerdasan.
Mengenai nilai kecerdasan, kita perlu juga mengetahui bahwa Islam menghargai nilai usaha. Pahala seseorang dilihat dari niatnya, bukan hasilnya. Oleh karena itu, jika-pun kecerdasan terbatas namun amalnya banyak (anak rajin), tetap harus dihargai tinggi. Dalam dunia materialisme ini, nilai tertinggi diberikan kepada nilai hasil prestasi yang semua diukur dengan materi atau kuantitatif. Ini berbeza dengan konsepsi Islam. Sebagai orangtua, kita harus pandai memotivasi anak berbakat, namun harus juga pandai mengapresiasi anak yang berusaha.
Dalam Ilmu Psikologi dikenal istilah ”under-achiever”, yaitu anak yang mendapatkan prestasi di bawah dari kemampuan yang dimilikinya. Dengan mengenal batas kemampuan anak membuat kita mampu menilai apakah mereka sudah berusaha dengan baik atau masih terkatagori under-achiever.
Selain mencuba mengetahui sifat dan krekter bawaan anak, kita juga perlu memahami apa yang disebut oleh para pakar sebagai “tahap-tahap perkembangan”. Anak lahir sebagai bayi, kemudian semakin lama semakin besar, ini adalah perjalanan kehidupan sesuai prosesnya. Masalah proses adalah masalah fitrah. Setiap orang berkembang dengan proses. Dalam Al-Qur’an juga ada disebutkan tentang proses penciptaan dalam kandungan, dan kemudian di luar kandungan sampai tua dan mati.
Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia:
1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai krekteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita cuba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.
Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kukuh akhlaknya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain.
Insya Allah, Dia Akan Mengajar kita dengan pahala terbaik, sesuai jerih payah kita, dan Semoga kita kelak bersama dikumpulkan di Negeri Abadi. Amin. Wallahua’lam,